Saturday, June 18, 2016

Psikoterapi minggu ke 4



-  


     - Bagaimana cara terapis untuk menjalankan tujuan dari terapi perspektif integratif sehinga     dapatmembantu mengembangkan integritasnya pada level tertinggi , ditandai adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan? Jelaskan dengan contoh kasus!
  •       Jawab : dengan memberikan motivasi kepada klien yang mengalami permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan sendiri dan membantu klien menemukan inti permasalahan dengan memberikan pilihan jalan keluar agar klien dapat memilih dan mempertimbangkan sesuai dengan dirinya. Dan terapi memberikan apresiasi kepada klien atas perkembangan yang diperoleh klien dalam penyelesaian-penyelesaian masalah yang dapat diatasi klien.
-Bagaimana  cara terapis mengetahui metode yang tepat untuk memilih teknik yang akan dilakukan     dalam melakukan terapi bermain?  Jelaskan dengan contoh kasus! 
  • Jawab : dengan cara memberikan dan memperkenalkan beberapa permainan kepada klien yang bertujuan untuk mengetahui permainan yang tepat terhadap perkembangan yang baik untuk klien. Seperti kasus anak autisme terapis berpura-pura memainkan boneka pada terapi ini klien terlihat tidak perduli dan tidak menhiraukan kemudia terapis menggangti nya dengan permainnan yang lainnya pada kasus ini klien lebih berminat pada permainan pasir yang dimana klien ikut bermain pasir dengan terapis dan mencoba membuat bentuk bentuk dengan menggunakan peralatan plastik permainan anak seperti skop, ember, dll
3.   Bagaimana  cara afektif yang harus dilakukan terapis dalam metode teknik keluarga? jelaskan dengan contoh kasus!        
  • Jawab : pada kasus anak yang memiliki permasalahan mogok sekolah dan pemakai narkoba, pada kasus ini terapis mengadakan pertemuan antara klien tanpa memberitahu identitas yang sebenarnya yang disusul dengan keluarga klien karena dalam terapi keluarga orang luar kemungkinan akan sulit diterima.  Pada kasus ini terapis menjadikan dirinya sebagai guru dan tenaga ahli di  komunikasi. Dan terjadilah diskusi antar satu keluarga yang dimana klien sulit untuk mengeluarkan pendapatnya kedalam satu keluarga sehingga tidak terjadinya interaksi yang baik diantara orang tua dan anak dan menunjukkan permasalahan dalam hal komunikasi yang menyebabkan klien untuk mencari pelarian pada lingkungan yang kurang baik. Kemudian Terapis memutuskan untuk mengarahkan situasi terapi pada diskusi dalam satu keluarga agar dapat saling terbuka antara orang tua dan anak.

Sumber :
Zellawati, Alice. (2013). Terapi bermain untuk mengatasi permasalahan pada anak. Jurnal psikologi Vol. 2 No. 3

Saturday, June 11, 2016

softskill minggu ke-3

Metode Transaksional Analisis




      Analisis Transaksional (AT) adalah psikoterapi transaksional yang dapat digunakan dalam terapi individual, tetapi ini lebih cocok digunakan untuk terapi kelompok. AT berbeda dengan sebagian besar terapi lain karena merupakan suatu terapi kontraktual dan desisional. AT melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh klien, yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses terapi. AT juga berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien dan menekankan kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru. AT menekankan aspek-aspek kognitif rasional-Behavior dan berorientasi pada peningkatan kesadaran sehingga klien akan mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya.
     Pendekatan ini dikembangkan oleh Eric Berne, berlandaskan suatu teori kepribadian yang berkenaan dengan analisis struktural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu : orang tua, orang dewasa, dan anak. Teori Berne menggunakan beberapa kata utama dan menyajikan suatu kerangka yang bisa dimengerti yang dipelajari dengan mudah. Kata-kata utamanya adalah orang tua, orang dewasa, anak, putusan, putusan ulang, permainan, skenario, pemerasan, dicampuri, pengabaian, dan ciri khas. 
 
Perbandingan Terapi Individu & Terapi Kelompok
 
           Terapi individual adalah penanganan klien dengan pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan. Sedangkan terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih. Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi klien dengan gangguan interpersonal. Keuntungan yang diperoleh individu melalui terapi aktivitas kelompok ini adalah dukungan (support), pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan hubungan interpersonal dan meningkatkan uji realitas sehingga terapi aktivitas kelompok ini dapat dilakukan pada karakteristik gangguan seperti : gangguan konsep diri, harga diri rendah, perubahan persepsi sensori halusinasi, klien dengan perilaku kekerasan atau agresif dan amuk serta menarik diri/isolasi sosial.
 Metode Terapi Rasional Emotif
         Terapi rasional emotif (TRE) adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.
          Terapi rasional emotif menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakat. Manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain.
             TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara stimulan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan- perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik.
            Menurut Allbert Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat individu sebagai makhluk unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan, untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang telah diintroyeksikannya secara tidak kritis pada masa kanak-kanak, dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri. Sebagai akibatnya, mereka akan bertingkah laku berbeda dengan cara mereka bertingkah laku di masa lampau. Jadi, karena bisa berpikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya berubah, mereka bukan korban-korban pengkondisian masa lampau yang pasif.
 

 Metode Terapi Perilaku


               Terapi perilaku (Behaviour therapy, behavior modification) adalah pendekatan untuk psikoterapi yang didasari oleh Teori Belajar (learning theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti; depression, anxiety disorders, phobias, dengan memakai tehnik yang didisain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Terapi perilaku pertama kali ditemukan pada tahun 1953 dalam proyek penelitian oleh BF Skinner, Ogden Lindsley, dan Harry C. Salomo. Selain itu termasuk juga Wolpe Yusuf dan Hans Eysenck. Secara umum, terapi perilaku berasal dari tiga Negara, yaitu Afrika Selatan (Wolpe), Amerika Serikat (Skinner), dan Inggris (Rachman dan Eysenck) yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda dalam melihat masalah perilaku. Eysenck memandang masalah perilaku sebagai interaksi antara karakteristik kepribadian, lingkungan, dan perilaku.

Daftar Pustaka :

- Corey, Gerald. 2013. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT. Refika Aditama.

- Nevid, jeffery. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
- I, M. Ingram. 1993. Catatan kuliah psikiatri. Jakarta: Buku kedokteran EGC.
- Rawlins, T.R.P., Williams, S.R., Beck, C.M. 1993. Mental Health Psychiatric Nursing a Holistic Life Cycle Approach. St. Louis : Mosby Year Book.

Saturday, May 14, 2016

Psikoterapi



Metode Terapi Humanistik Eksistensial 
Istilah psikologi humanistik (Humanistic Psychology) diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi humanistik sebagai “kekuatan ketiga” (a third force).
Meskipun tokoh-tokoh  psikologi humanistik memiliki pandangan yang berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia, yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu eksistensialisme. Eksistensialisme adalah hal yang mengada-dalam dunia (being-in-the-world) dan menyadari penuh akan keberadaannya (Koeswara, 1986 : 113). Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya, para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya, dalam hal ini “pilihan” menjadi evaluasi tertinggi dari tindakan yang akan diambil oleh seseorang.
Teori eksistensial-humanistik menekankan renungan filosofi tentang apa artinya menjadi manusia. Banyak para ahli psikologi yang berorientasi eksistensial,mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku pada metode-metode yang digunakan oleh ilmu alam.
Terapi eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa lari dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab berkaitan. Dalam penerapan-penerapan terapeutiknya eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada filosofis yang melandasi terapi. Pendekatan atau teori eksistensial-humanistik menyajikan suatu landasan filosofis bagi orang berhubungan dengan sesama yang menjadi ciri khas, kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui implikasi-implikasi bagi usaha membantu dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut keberadaan manusia.
Pendekatan eksistensial-humanistik mengembalikan pribadi kepada fokus sentral, sentral memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya yang tertinggi. Ia menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam proses pemenjadian dan bahwa manusia secara sinambung mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia – kesadaran diri dan kebebasan yang konsisten.
Pendekatan Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan Eksistensial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang bertujuan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial-humanistik bukan merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.


Konsep Utama Terapi Humanistik-Eksistensial

  1. Kesadaran Diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri seorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesadaran untuk memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas didalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.

  1. Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan ekstensial bisa diakibatkan atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing). Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesasaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa ekstensial yang juga merupakan bagian kondisi manusia. Adalah akibat dari kegagalan individu untuk benar-benar menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.

  1. Penciptaan Makna
Manusia itu unik dalam arti bahwa ia berusaha untuk menentukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti menghadapi kesendirian (manusia lahir sendirian dan mati sendirian pula). Walaupun pada hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah mahluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi dipersonalisasi, alineasi, keterasingan, dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu, jika tidak mampu mengaktualkan diri, ia bisa menajdi “sakit”.
Tujuan-tujuan Terapeutik
Terapi eksistensial bertujuan agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak atas kemampuannya.


Fungsi dan Peran Terapis dalam Terapi Humanistik-Eksistensial
Terapis dalam terapi humanistik eksistensial mempunyai tugas utama, yaitu berusaha untuk memahami klien sebagai sesuatu yang ada di dalam dunia ini. Dimana tekhnik yang digunakannya itu selalui mendahului suatu pemahaman yang mendalam terhadap kliennya. Prosedur yang digunakan bisa bervariasi, tidak hanya dari klien yang satu ke klien yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama.

Prosedur dan Teknik Terapi
Menurut Baldwin (1987), inti dari terapi ini adalah penggunaan pribadi terapi
1.      Kapasitas Untuk Sadar Akan Dirinya : Implikasi Konseling.
Meningkatkan kesadaran diri, yang mencakup kesadaran akan adanya alternative, motivasi, factor yang mempengaruhi seseorang dan tujuan hidup pribadi, merupakan sasaran dari semua konseling. Adalah tugas terapis untuk menunjukkan kepada klien bahwa peningkatan kesadaran memerlukan imbalan.
2.      Kebebasan dan Tanggung Jawab : Implikasi Konseling.
Terapis eksistensial terus-menerus mengarahkan fokus pada pertanggungjawaban klien atas situasi mereka. Mereka tidak membiarkan klien menyalahkan orang lain, menyalahkan kekuatan dari luar, ataupun menyalahkan bunda mengandug. Apabila klien tidak mau mengakui dan menerima pertanggungjawaban bahwa sebenarnya mereka sendirilah yang menciptakan situasi yang ada, maka sedikit saja motivasi mereka untuk ikut terlibat dalam usaha perubahan pribadi (May & Yalom, 1989; Yalom 1980).
Terapis membantu klien dalam menemukan betapa mereka telah menghindari kebebasan dan membangkitkan semangat mereka untuk belajar mengambil resiko dengan menggunakan kebebasan itu. Kalau tidak berbuat seperti itu berarti klien tak mampu berjalan dan secara neurotik menjadi tergantung pada terapis.
Terapis perlu mengajarkan klien bahwa secara eksplisit mereka menerima fakta bahwa mereka memiliki pilihan, meskipun mereka mungkin selama hidupnya selalu berusaha untuk menghindarinya.
3.      Usaha Untuk Mendapatkan Identitas dan Bisa Berhubungan Dengan Orang Lain : Implikasi Konseling.
Bagian dari langkah terapeutik terdiri dari tugasnya untuk menantang klien mereka untuk mau memulai meneliti cara dimana mereka telah kehilangan sentuhan identitas mereka, terutama dengan jalan membiarkan orang lain memolakan hidup bagi mereka. Proses terapi itu sendiri sering menakutkan bagi klien manakala mereka melihat kenyataan bahwa mereka telah menyerahkan kebebasan mereka kepada orang lain dan bahwa dalam hubungan terapi mereka terpaksa menerima kembali. Dengan jalan menolak untuk memberikan penyelesaian atau jawaban yang mudah maka terapis memaksa klien berkonfrontasi dengan realitas yang hanya mereka sendiri yang harus bisa menemukan jawaban mereka sendiri.
4.      Pencarian Makna : Implikasi Konseling.
Berhubungan dengan konsep ketidakbermaknaan adalah apa yang oleh pratis eksistensial disebut sebagai kesalahan eksistensial. Ini adalah kondisi yang tumbuh dari perasaan ketidaksempurnaan atau kesadaran akan kenyataan bahwa orang ternyata tidak menjadi siapa dia seharusnya. Ini adalah kesadaran bahwa tindakan serta pilihan sesorang mengungkapkan kurang dari potensi sepenuhnya yang dimilikinya sebagai pribadi. Manakala orang mengabaikan potensi-potensi tertentu yang dimiliki, maka tentu ada perasaan kesalahan eksistensial ini. Beban kesalahan ini tidak dipandang sebagai neurotik, juga bukan sebagai gejala yang memerlukan penyembuhan. Yang dilakukan oleh terapis eksistensial adalah menggalinya untk mengetahui apa yang bisa dipelajari klie tentang cara mereka menjalani kehidupan. Dan ini bisa digunakan untuk menantang kehadiran makna dan arah hidup.
5.      Kecemasan Sebagai Kondisi Dalam Hidup : Implikasi Konseling.
Kecemasan merupakan materi dalam sesi terapi produktif. Kalau klien tidak mengalami kecemasan maka motivasi untuk mengalami perubahan menjadi rendah. Jadi, terapis yang berorientasi eksistensial dapat menolong klien mengenali bahwa belajar bagaimana bertenggang rasa dengan keragu-raguan dan ketidakpastian dan bagaimana caranya hidup tanpa ditopang bisa merupakan tahap yang perlu dialami daam perjalanan dari hidup yang serba tergantung kea lam kehidupan sebagai manusia yang lebih autonom. Terapis dan klien dapat menggali kemungkinan yang ada, yaitu bahwa melepaskan diri dari pola yang tidak sehat dan membangun gaya hidup baru bisa disertai dari pola yang tidak sehat dan membangun gaya hidup baru bisa berkurang pada saat klien mengalami hal-hal yang ebih memuaskan dengan cara-cara hidup yang lebih baru. Maakala klien menjadi lebih percaya diri maka kecemasan mereka sebagai akibat dari ramalan-ramalan akan datangnya bencana akan menjadi berkurang.
6.      Kesadaran Akan Maut dan Ketiadaan : Implikasi Konseling.
Latihan dapat memobilisasikan klien untuk secara sungguh-sungguh memantapkan waktu yang masih mereka miliki, dan ini bisa menggugah mereka untuk mau menerima kemungkinan bahwa mereka bisa menerima keberadaannya sebagai mayat hidup sebagai pengganti kehidupan yang lebih bermakna.

Tahap-tahap Pelaksanaan Terapi Humanistik Eksistensial
Pendekatan ini bisa menggunakan beberapa teknik dan konsep psikoanalitik dan juga bisa menggunakan teknik kognitif-behavioral. Metode ini berasal dari Gestalt dan analisis transaksional. Terdapat tiga tahap yang dapat dilakukan oleh terapis dalam terapi humaniatik eksistesial, antara lain :
  • Tahap pendahuluan
Konselor mambantu klien dalam mengidentifikasi dan mnegklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercemin pada eksistensial mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka.
  • Tahap pertengahan
Klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dan sistem mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
  • Tahap akhir
Berfokus untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupannya yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas penggunaan kebebasan pribadinya.

Kekurangan dan Kelebihan Terapi Humanistik-Ekstensial
  1. Kelebihan
  • Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
  • Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri
  • Memanusiakan manusia
  • Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, analisis terhadap fenomena sosial.
  • Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien seperti masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa
  1. Kelemahan
  • Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal
  • Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas
  • Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri)
  • Memakan waktu lama.

 Contoh Kasus yang Biasa Ditangani dan Efeknya
  1. Kasus Pertama :
Sebagai contoh, Leon seorang mahasiswa, mungkin melihat dirinya sebagai dokter masa depan, tetapi  nilainya yang dikeluarkan dari sekolah kedokteran ternyata dibawah rata-rata. Perbedaan antara dengan apa Leon melihat dirinya (konsep diri) atau bagaimana ia ingin melihat dia (ideal konsep diri) dan realitas kinerja akademis yang buruk dapat menyebabkan kegelisahan dan kerentanan pribadi, yang dapat memberikan motivasi yang diperlukan untuk masuk terapi. Leon harus melihat bahwa ada masalah atau, setidaknya bahwa ia tidak cukup nyaman untuk menghadapi penyesuaian psikologis untuk mengeksplorasi kemungkinan untuk perubahan.
Konseling berlangsung, klien dapat mengeksplorasi lebih luas keyakinannya dan perasaan (Rogers, 1967). Mereka dapat mengekspresikan ketakutan mereka, rasa bersalah kecemasan, malu, kebencian, kemarahan, dan lain sebagainya. emosi telah dianggap terlalu negatif untuk menerima dan memasukkan ke dalam diri mereka. Dengan terapi, orang distortir kurang dan pindah ke penerimaan yang lebih besar dan integrasi perasaan yang saling bertentangan dan membingungkan. Mereka semakin menemukan aspek dalam diri mereka yang telah disimpan tersembunyi.
Sebagai klien merasa dimengerti dan diterima, mereka menjadi kurang defensif dan menjadi lebih terbuka terhadap pengalaman mereka. Karena mereka merasa lebih aman dan kurang rentan, mereka menjadi lebih realistis, menganggap orang lain dengan akurasi yang lebih besar, dan menjadi lebih mampu untuk memahami dan menerima orang lain. Individu dalam terapi datang untuk menghargai diri mereka lebih seperti mereka, dan perilaku mereka menunjukkan lebih banyak fleksibilitas dan kreativitas. Mereka menjadi kurang peduli tentang memenuhi harapan orang lain, dan dengan demikian mulai berperilaku dengan cara yang lebih benar untuk diri mereka sendiri. Mereka bergerak ke arah yang lebih berhubungan dengan apa yang mereka alami pada saat ini, kurang terikat oleh masa lalu, kurang ditentukan, lebih bebas untuk membuat keputusan, dan semakin percaya diri masuk untuk mengelola kehidupan mereka sendiri.
Dari contoh kasus Leon dapat diambil kesimpukan bahwa salah satu alasan klien mencari terapi adalah perasaan tidak berdaya dasar, dan ketidakmampuan untuk membuat keputusan atau secara efektif mengarahkan hidup mereka sendiri. Mereka mungkin berharap untuk menemukan “jalan” melalui bimbingan terapis. Dalam kerangka orang-terpusat, namun klien segera belajar bahwa mereka dapat bertanggung jawab untuk diri mereka sendiri dalam hubungan dan bahwa mereka dapat belajar menjadi lebih bebas dengan menggunakan hubungan untuk mendapatkan diri yang lebih besar pemahaman.

  1. Kasus Kedua   :
Sungguh mengenaskan, seorang ibu muda (Junania Mercy 37) meracuni ke-empat anak-anaknya, memandikan mereka, menyisir rambutnya, kemudian disandingkan bersama-sama dengan rapi diatas tempat tidur. Kemudian baru sang ibu mengakhiri hidupnya dengan minum racun yang sama. Kejadian yang cukup menyayat hati, 4 orang anak kecil itu bagaikan sedang tidur saja, sang ibu ingin anak-anaknya ditemukan dalam keadaan bersih dan rapi. Bisa dibayangkan bahwa ibu itu menyaksikan anaknya sekarat, entah muntah, entah buang-air, entah badannya kejang-kejang karena keracunan. Ia merekamnya dengan sebuah ponsel kemudian ia membersihkannya dan menata mayat anak-anaknya dengan rapi. Waktu yang mungkin cukup panjang prosesnya. Kemudian ia memilih pakaian terbaiknya dan mengakhiri hidupnya. Dan tentu saja mayat sang ibu ketika ditemukan tidak sebersih anak-anaknya.
Ibu Mercy adalah gambaran seorang yang mempunyai tekanan berat, persoalan rumah-tangga, ekonomi dan problem kesehatan anak ke-2nya yang mempunyai penyakit kelainan darah yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Tak tahu kemana lagi harus meminta tolong, dan ia kemudian menjerit dengan jeritan yang tak terungkapkan dengan suara, ia bunuh diri.
Pada saat seorang klien ingin bunuh diri karena merasa sudah tidak dapat menanggung beban hidup diri & keluarganya, seperti kasus bu Mercy. Terapis Eksistensial mungkin memandangnya sebagai simbolik. Karena bukankah berarti klien merasa mati sebagai pribadi, apakah klien menggunakan potensi manusiawinya, apakah klien memilih mati hanya sekedar mengukuhkan kehidupan. Terapis Eksistensial akan mengonfrontasikan klien dengan masalah makna dan maksud dalam hidupnya. Sehingga klien mempunyai alasan untuk ingin melanjutkan hidup & melakukan sesuatu untuk menemukan guna tujuan yang akan membuat dirinya merasa lebih berarti dan hidup, karena dalam terapis konselor akan mengajak klien memahami dirinya sendiri sebagai manusia yang hidup berdampingan dan selalu dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan pahit atau manis sehingga mampu eksis dalam kehidupannya.
Perasaan bersalah (kasus: tidak mampu membiayai pengobatan anaknya) adalah kekuatan dominan dalam kehidupan klien. Bagaimanapun banyak dari perasaan bersalahnya yang merupakan perasaan bersalah neurotik karena ia berlandaskan pandangan tentang mengecewakan orang lain dan bukan memenuhi pengharapan mereka. Klien harus belajar bahwa perasaan bersalah akan berguna jika berlandaskan kesadarannya atas penyia-nyian potensinya sendiri. Terapi eksistensial akan melihat harapan klien dalam belajar untuk menemukan keterpusatannnya sendiri dan dalam hidup dengan nilai-nilai yang dipilih dan diciptakannya sendiri. Dia juga bisa berhubungan dengan orang lain dengan kekuatannya sendiri untuk membentuk suatu hubungan yang dependen.
Tujuan dari terapi ini adalah menyajikan kondisi-kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan. Menghapus penghambat-penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri. Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab arah kehidupannya sendiri.
  1. Kasus Ketiga: Introspeksi Sebagai Terapi Humanistik Eksistensial
Introspeksi adalah proses pengamatan terhadap diri sendiri dan pengungkapan pemikiran dalam yang disadari, keinginan, dan sensasi. Proses tersebut berupa proses mental yang disadari dan biasanya dengan maksud tertentu dengan berlandaskan pada pikiran dan perasaannya. Bisa juga disebut sebagai kontemplasi pribadi, dan berlawanan dengan ekstropeksi yang berupa pengamatan terhadap objek-objek di luar diri. Introspeksi mepunyai arti yang sama dengan refleksi diri.
Sering dikatakan bahwa Wilhelm Wundt, bapak psikologi modern adalah orang pertama yang mengadopsi introspeksi pada psikologi eksperimental, meskipun gagasan metodologisnya telah disajikan lama sebelumnya, seperti pada abad ke-18 filsuf merangkap psikolog Jerman seperti Alexander Gottlieb Baumgarten atau Johann Nicolaus Tetens. Introspeksi adalah pemeriksaan pikiran dan perasaan sadar diri sendiri. Dalam psikologi proses introspeksi bergantung secara eksklusif pada pengamatan kondisi mental seseorang, sementara dalam konteks spiritual mungkin merujuk pada pemeriksaan jiwa seseorang. Introspeksi berkaitan erat dengan refleksi diri manusia dan kontras dengan ekstrospeksi. Introspeksi umumnya menyediakan akses istimewa ke keadaan mental kita sendiri, tidak dimediasi oleh sumber-sumber pengetahuan lainnya, sehingga pengalaman individu dari pikiran adalah unik. Introspeksi dapat menentukan sejumlah keadaan mental termasuk: Sensorik, fisik, kognitif, emosional dan sebagainya.
Pada beberapa kepercayaan introspeksi digunakan sebagai cara untuk terapi diri contohnya adalah pada agama Islam, penganut agama Islam mengenal introspeksi diri dengan kata muhasabah. Muhasabah sendiri memiliki arti introspeksi atau mawas atau meneliti diri, yaitu menghitung perbuatan pada tiap tahun, tiap bulan, tiap hari bahkan setiap saat. Dalam bermuhasabah seorang muslim melakukan review terhadap apa yang telah dilakukannya selama ini adalah benar dan sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Kegiatan ini memiliki kesamaan dengan salah satu metode psikoterapi yaitu self-help atau menolong diri sendiri serta dalam pelaksanaan instropeksi diri menggunakan prinsip humanistik bahwa sebenarnya jawaban atas masalah manusia terdapat dalam dirinya sendiri.
Dalam melakukan introspeksi seseorang melakukan pengamatan terhadap apa yang telah ia lakukan selama ini, kemudian ia menilai apakah yang ia lakukan telah sesuai dengan hidupnya atau tidak, yaitu apakah ia sudah memenuhi perannya dengan baik (sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, dan sesuai status yang melekat pada dirinya). Setelah melakukan proses pengamatan tersebut jika sudah terpenuhi maka ia dapat menyukuri atau menaikkan tujuannya lebih tinggi, namun jika belum terpenuhi maka ia akan melakukan pemikiran yang lebih jauh untuk menemukan hal-hal yang menghambatnya dalam memenuhi perannya serta menentukan tindakan serta membangun rencana yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi diri untuk mencapai tujuan pemenuhan peran tersebut.




Metode Terapi Psikoanalisa
Psikoanalisa secara umum berarti suatu pandangan tentang manusia, dimana ketidaksadaran memegang peranan sentral. Psikoanalisa memandang kejiwaan manusia sebagai ekspresi dari adanya dorongan yang menimbulkan konflik. Konflik timbul karena ada dorongan-dorongan yang saling bertentangan, baik dari dorongan yang disadari maupun yang tidak disadari. Tokoh utama dari psikoanalisa adalah Sigmund Freud. Teori dan teknik Freud yang membuatnya termasyhur adalah upaya penyembuhan mental pasiennya yang dikenal dengan istilah Psychoanalysis dan pandangan mengenai peranan dinamis ketidaksadaran dalam hidup psikis manusia. Psikoanalisa sebagai teori dari psikoterapi menguraikan bahwa gejala neurotik pada seseorang timbul karena tertahannya ketegangan emosi yang ada, ketegangan yang ada kaitannya dengan ingatan mengenai hal-hal yang traumatik pada masa kanak-kanak yang ditekan.
Terapi psikoanalisa adalah teknik pengobatan yang dilakukan oleh terapis dengan cara menggali permasalahan dan pengalaman yang direpresnya selama masa kecil serta memunculkan dorongan-dorongan yang tidak disadarinya selama ini. Teknik ini menekankan menggali seluruh informasi permasalahan dan menganalisis setiap kata-kata yang diungkapkan oleh klien. Didalam terapi psikoanalisa ini sangat dibutuhkan sifat dari terapeutik, maksudnya adalah adanya hubungan interpersonal dan kerja sama yang professional antara terapis dan klien, terapis harus bisa menjaga hubungan ini agar klien dapat merasakan kenyamanan, ketenangan dan bisa rileks menceritakan permasalahan serta tujuannya untuk menemui terapis.
Terapi psikoanalisa biasa digunakan atau diterapkan untuk orang-orang dengan masalah yang berkaitan dengan konsep utama dari psikoanalisa seperti adanya alam bawah sadar pada manusia yang mampu mendorong 3 prinsip dasar dari psikoanalisa sendiri (Id, Ego, Super Ego), hal kejiwaan yang merupakan bagian kesadaran (consciousness) dan ketidaksadaran (unconsiousness), serta mengedepankan pengaruh pengalaman-pengalaman dimasa lalu. Contoh beberapa masalah yang dihadapi antara lain: masalah dalam menjalin hubungan dengan orang lain, masalah yang berhubungan dengan akademik, depresi, kecemasan, trauma, dan masalah dimasa lalu yang mengganggu fungsi seseorang melakukan aktifitasnya sehari-hari.
Dalam melakukan terapi psikoanalisa ini ada beberapa teknik yang dapat digunakan, yaitu sebagai berikut;
Asosiasi Bebas
Asosiasi bebas sebagai teknik utama dalam psikoanalisis. Salah satu pasien Freud, menyebut metode free association sebagai “penyembuhan dengan bicara”. Maksudnya suatu metode terapi yang dirancang untuk memberikan kebebasan secara total kepada pasien dalam mengungkapkan segala apa yang terlintas dibenaknya, termasuk mimpi-mimpi, berbagai fantasi, dan hal-hal konflik dalam dirinya tanpa diagenda, dikomentari, ataupun banyak dipotong, apalagi disensor. Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal dengan katarsis. Asosiasi merupakan salah satu dari peralatan dasar sebagai pembuka pintu keinginan, khayalan, konflik, serta motivasi yang tidak disadari. Dalam tehnik ini Freud menggunakan Hipnotis untuk mendapatkan data-data dari klien mengenai hal-hal yang dia pikirkan dialam bawah sadarnya, dengan tehnik ini klien dapat mengutarakan apapun yang dia rasakan tanpa ada yang disembunyikan sehingga psikoterapis dapat menganalisis masalah apa yang sebenarnya terjadi pada klien. Penerapan metode ini dilakukan dengan posisi klien berbaring diatas dipan/sofa sementara terapis duduk dibelakangnya, sehingga tidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas. Dalam hal ini terapis fokus bertugas untuk mendengarkan, mencatat, menganalisis bahan yang direpres, memberitahu/membimbing pasien memperoleh insight (dinamika yang mendasari perilaku yang tidak disadari).
Interpretasi atau Penafsiran
Interpretasi adalah prosedur dasar yang digunakan dalam analisis asosiasi bebas, analisis mimpi, analisis resistensi dan analisis transparansi. Caranya adalah dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi, dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi interpretasi adalah membiarkan ego untuk mencerna materi baru dan mempercepat proses menyadarkan hal-hal yang tersembunyi atau proses pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalanginya alam bawah sadar pada diri klien. Analis harus benar-benar menyadari mekanisme-mekanisme dan berbagai dorongan untuk mempertahankan dirinya sebab kalau tidak dia akan jatuh ke dalam perangkap penafsiran terhadap berbagai perasaan dan pikiran dinamik pasien menurut sederet pengalaman dan masalah hidup analis sendiri. Penafsiran oleh analis harus memperhatikan waktu. Dia harus dapat memilah atau memprediksi kapan waktu yang baik dan tepat untuk membicarakan penafsirannya kepada pasien.

Analisis Mimpi
Studi Freud yang mendalam tentang mimpi melahirkan pandangan-pandangan kritisnya tentang hal ini. Baginya mimpi merupakan perwujudan dari materi atau isi yang tidak disadari, yang memasuki kesadaran lewat yang tersamar dan bersifat halusinasi atas keinginan-keinginan yang terpaksa ditekan. Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya. Bagian teori tentang mimpi yang paling hakiki dan vital bagi Freud adalah adanya kaitan antara distorsi mimpi dengan suatu konflik batiniah atau semacam ketidakjujuran batiniah. Oleh karena itu Freud mencetuskan teknik analisis mimpi. Analisis mimpi merupakan prosedur yang penting untuk membuka hal-hal yang tidak disadari dan membantu klien untuk memperoleh pemahaman kepada masalah-masalah yang belum terpecahkan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan muncul ke permukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan “jalan istimewa menuju ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Pada teknik ini biasanya para psikoterapis memfokuskan mimpi-mimpi yang bersifat berulang, menakutkan dan sudah pada taraf mengganggu. Tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifes. Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkap makna-makna yang terselubung.
Analisis dan interpretasi resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut. Analisis dan penafsiran resistensi, ditujukan untuk membantu klien agar menyadari alasan-alasan yang ada dibalik resistensi sehingga dia bisa menanganinya, terapis meminta klien menafsirkan resistensi. Tujuannya adalah mencegah material-material mengancam yang akan memasuki kesadaran klien, dengan cara mencegah klien mengungkapkan hal-hal yang tidak disadarinya.
Analisis dan interpretasi transferensi
Transferensi adalah pengalihan sikap, perasaan dan khayalan pasien. Transferensi muncul dengan sendirinya dalam proses terapeutik pada saat dimana kegiatan-kegiatan klien masa lalu yang tak terselesaikan dengan orang lain, menyebabkan dia mengubah masa kini dan mereaksi kepada analisis sebagai yang dia lakukan kepada ibunya atau ayahnya ataupun siapapun. Transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang terpendam atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh pasien kepada terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti. Transferensi dinilai sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketidaksadaran pasien karena alat ini mendorong klien untuk menghidupkan kembali berbagai pengalaman emosional dari tahun-tahun awal kehidupannya. Teknik analisis transferensi dilakukan agar klien mampu mengembangkan tranferensinya guna mengungkap kecemasan-kecemasan yang dialami pada masa lalunya (masa anak-anak), sehingga terapis punya kesempatan untuk menginterpretasi tranferen. Dan pada teknik ini terapis menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif serta tidak memberikan saran. Transferensi pada tahap yang paling kritis berefek abreaksi (pelepasan tegangan emosional) pada pasien. Efek lain yang mungkin, ada dua, yaitu positif dan negatif. Positif: saat pasien secara terbuka mentransferkan perasaan-perasaannya sehingga menyebabkan kelekatan, ketergantungan, bahkan cinta kepada terapis. Negatif: saat kebencian, ketidaksabaran, dan kadang-kadang perlawanan yang keras terhadap terapis. Dan ini dapat berefek fatal terhadap proses terapi.

Terapi psikoanalisa ini dapat dihentikan atau dianggap selesai saat klien mengerti akan kenyataan yang sesungguhnya, alasan mengapa mereka melakukan perilaku abnormal, dan menyadari bahwa perilaku tersebut tidak seharusnya mereka lakukan, lalu mereka sadar untuk menghentikan perilaku itu. Terapi psikoanalisa bertujuan untuk mengubah kesadaran individu, sehingga segala sumber permasalahan yang ada didalam diri individu yang semulanya tidak sadar menjadi sadar, mengatasi tahap-tahap perkembangan tidak terpecahkan, membantu klien menyesuaikan dan mengatasi masalahnya, rekonstruksi kepribadian serta meningkatkan kontrol ego sehingga dapat menghadapi kehidupan yang realita, dan mengubah perilaku klien menjadi lebih positif.
Terapi psikoanalisa ini lebih efektif digunakan untuk mengetahui masalah pada diri klien, karena prosesnya dimulai dari mencari tahu pengalaman-pengalaman masa lalu pada diri klien. Apalagi terapi ini memiliki dasar teori yang kuat. Terapi ini bisa membuat klien mengetahui masalah apa yang selama ini tidak disadarinya. Namun terapi ini tetap memiliki kekurangan seperti diperlukan waktu yang panjang dalam melaksanakan terapi, memakan biaya yang banyak, dan memungkinkan klien menjadi jenuh saat terapi.




PERSON-CENTERED THERAPY (ROGERS)

1. Konsep Dasar Pandangan Carl Rogers tentang Perilaku atau Kepribadian

Pandangan tentang sifat manusia.

Pandangan client-centered tentang sifat manusia menolak konsep tentang kecenderungan-kecenderungan negatif dasar. Sementara beberapa pendekatan beranggapan bahwa manusia menurut kodratnya adalah irasional dan berkecenderungan merusak terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain kecuali jika telah menjalani sosialisasi, Rogers menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang manusia sebagai tersosialisasi dan bergerak ke muka, sebagai berjuang untuk berfungsi penuh, serta sebagai pemilik kebaikan yang positif.
Pandangan tentang manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi praktek terapi client-centered. Berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesanggupan yang koheren untuk menjauhi maladjustment menuju keadaan psikologi yang sehat, terapis meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada klien. Model client-centered menolak konsep yang memandang terapis sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik dan memandang manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perintah terapis. Oleh karena itu, terapi client-centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat keputusan. Dengan demikian, meningkatkan kesadaran berarti meningkatkan kesanggupan seseorang untuk mengalami hidup secara penuh sebagai manusia


2. Unsur-Unsur Terapi
a. Tujuan-tujuan terapeutik
Tujuan dasar dari terapi client-centered adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, terapis perlu  mengusahakan agar klien bisa memahami hal-hal yang ada di balik topeng yang dikenakannya.
Rogers (1961) menguraikan ciri-ciri orang yang bergerak ke arah menjadi bertambah teraktualkan:

1) Keterbukaan kepada pengalaman

Keterbukaan kepada pengalaman memerlukan memandang kenyataan tanpa mengubah bentuknya supaya sesuai dengan struktur diri yang tersusun lebih dulu. Sebagai lawan kebertahanan, keterbukaan kepada pengalaman menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya. Ia juga berarti bahwa kepercayaan-kepercayaan orang tidak kaku, dia dapat tetap terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan serta bisa menoleransi kedwiartian. Orang memiliki kesadaran atas diri sendiri pada saat sekarang dan kesanggupan mengalami dirinya dengan cara-cara yang baru.

2) Kepercayaan terhadap organisme sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Acap kali, pada tahap permulaan terapi, keperayaan klien terhadap diri sendiri dan terhadap putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Dengan meningkatnya keterbukaan klien kepada pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan klien kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.

3) Tempat evaluasi internal
Tempat evaluasi internal, yang berkaitan dengan kepercayaan diri, berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban kepada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya ketimbang mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetukjuan dari diri sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.

4) Kesediaan untuk menjadi suatu proses

Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian, yang merupakan lawan dari konsep tentang diri sebagai produk, sangat penting. Meskipun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula untuk membangun keadaan berhasil dn berbahagia (hasil akhir), mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaan serta membuka diri bagi pengalaman baru dan revisi-revisi alih-alih menjadi wujud yang membeku.


b. Fungsi dan peran terapis
Peran terapis client-centered berakar pada cara-cara keberadaanny dan sikap-sikapnya, bukan pada penggunaan teknik-teknik yang dirancang untuk menjadikan klien "berbuat sesuatu". Pada dasarnya, terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah. Dengan menhadapi klien pada taraf pribadi-ke-pribadi, maka "peran" terapis adalah tanpa peran. Adapun fungsi terapis adalah membangun suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan klien.

Jadi, terapis client-centered membangun hubungan yang membantu di mana klien akan menjadi kebebasan yang membantu di mana klien akan mengami kebebasan yang diperlukan untuk mengeksplorasi area-area hidupnya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Klien menjadi kurang defensif dan menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam dirinya maupun dalam dunia.

Yang pertama dan terutama, terapis harus bersedia menjadi nyata dalam hubungan dengan klien. Terapis menghadapi klien berlandaskan pengalaman dari saat ke saat dan membantu klien dengan jalan memasuki dunianya alih-alih menurut kategori diagnostik yang telah dipersiapkan. Melalui perhatian yang tulus, respek, penerimaan, dan pengertian terapis, klien bisa menghilangkan pertahanan-pertahanan dan persepsi-persepsinya yang kaku serta bergerak menuju taraf fungsi peribadi yang lebih tinggi.

c. Hubungan antara terapis dan klien

Terapis mampu menjangkau dunia pribadi klien sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan didasarkan oleh klien, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari klien, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.

3. Teknik-Teknik Terapi
Morse dan Watson (1977) mengungkapkan terapis client-centered juga harus memegang sikap menerima dan menganggap positif terhadap kliennya. Terapis juga harus memiliki keinginan yang terus menerus untuk memahami dunia pribadi kliennya, dan dia harus berkomunikasi memahami dengan empati.
Ada sejumlah teknik tertentu yang membantu terapis dalam interaksi dengan klien. Salah satu teknik adalah dengan clarification of the client's feelings, dimana akan mencerminkan perasaan klien.
Teknik lain adalah simple acceptance, restatement of content, dan nondirective leads.
Simple acceptance: dimana terapis memngusahakan klien dapat menerima keterangan dari terapis, menambah komunikasi sebagai pemahaman secara empati dan hal positif tanpa syarat. Hal ini dapat dilakukan baik secara verbal dan nonverbal.
Restatement of content: untuk membantu pemahaman klien dari masalah yang mungkin membingungkan.
Nondirective leads: intinya jelas dalam awal terapi. Terapi membantu klien untuk mengembangkan topik dan untuk mengarahkan diskusi dalam situasi terapi.








LOGOTERAPI (FRANKL)

1. Konsep Dasar Pandangan Frankl tentang Perilaku/Kepribadian

Frankl menyetujui konsep sigmund freud mengenai ketidaksadaran tetapi menganggap kemauan untuk lebih mendasar dari kesenangan. Perbedaan utama antara logotherapy dan psikoanalisis adalah bahwa Freud dan Adler fokus pada masa lalu, sementara logoterapi lebih berfokus pada masa depan.
Logoterapi berarti terapi melalui makna dan mengacu pada pendekatan yang  berorientasi pada spiritual Frankl untuk psikoterapi.

2. Unsur-Unsur Terapi
Hubungan terapis dengan klien
Frankl cenderung menekankan kemitraan antara klien dan terapis selama pencarian makna.
1) komitmen untuk berkomunikasi secara otentik dengan terapis
2) komunikasi terapis paling dasar menekankan kemanusiaan
3) perhatian utama terapis adalah menjadi seperti klien.

3. Teknik-Teknik Terapi
a. Paradoxial Intention 
Klien didorong untuk melakukan sesuatu pada hal yang sangat ia takuti ( mulai dari fobia hingga ke obsesif kompulsif). Teknik ini didasarkan pada kemampuan manusia untuk dapat memutus lingkaran setan, yaitu orang dengan neurosis psikogenik, seperti fobia, kecemasan, dan perilaku obsesif-kompulsif. Pada penerapan intensi paradoksial, terapis mencoba, untuk memobilisasi dan memanfaatkan kapasitas ekslusif manusia.
Pada kasus gangguan obsesif-kompulsif  klien berperang melawan obsesi atau dorongan . Namun, semakin ia melawan, gejala tersebut justru semakin menjadi kuat, mengacu pada Guttmann, intensi paradoksial telah digunakan dengan mepeningkatkan frekuensi dengan hasil yang baik terutama dalam mengobati klien yang menderita fobia dan gangguan obsesif-kompulsif.

b. Dereflection
Teknik ini dibangun pada kapasitas self-distancing dan self-transcendence manusia. Klien diminta untuk mengarahkan perhatian mereka jauh dari masalah mereka ke aspek yang lebih positif dari kehidupan mereka.

c. Modification of attitudes
Digunakan untuk noogenic neurosis, depresi, dan kecanduan. Ini juga dapat digunakan dalam menghadapi penderitaan yang terkait dengan keadaan, nasib atau penyakit. Penekanannya pada pada reframing sikap dari negatif ke positif.


Perbedaan Terapi Humanistik Eksistensial dengan Person-Centered Therapy (Rogers)
Terapi humanistik eksistensial berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan Eksistensial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang bertujuan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial-humanistik bukan merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.
Sedangkan person-centered therapy tentang sifat manusia menolak konsep tentang kecenderungan-kecenderungan negatif dasar. Sementara beberapa pendekatan beranggapan bahwa manusia menurut kodratnya adalah irasional dan berkecenderungan merusak terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain kecuali jika telah menjalani sosialisasi, Rogers menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang manusia sebagai tersosialisasi dan bergerak ke muka, sebagai berjuang untuk berfungsi penuh, serta sebagai pemilik kebaikan yang positif. Pandangan tentang manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi praktek terapi client-centered. Berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesanggupan yang koheren untuk menjauhi maladjustment menuju keadaan psikologi yang sehat, terapis meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada klien.








Daftar Pustaka:
Misiak, henryk.2005.psikologi fenomenologi,eksistensial dan humanistic. Bandung: PT Rafika aditama
D.Gunarsa, Prof.DR.Singgih. (1992). Konseling dan Psikoterapi. Gunung Mulia: Jakarta.
Corey, G. (1995). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: PT Eresco.