Metode Terapi
Humanistik Eksistensial
Istilah
psikologi humanistik (Humanistic Psychology) diperkenalkan oleh sekelompok ahli
psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan
Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat
berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang
dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi
humanistik sebagai “kekuatan ketiga” (a third force).
Meskipun
tokoh-tokoh psikologi humanistik memiliki pandangan yang berbeda-beda,
tetapi mereka berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai
manusia, yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu eksistensialisme.
Eksistensialisme adalah hal yang mengada-dalam dunia (being-in-the-world) dan
menyadari penuh akan keberadaannya (Koeswara, 1986 : 113). Eksistensialisme
menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun
lingkungan. Sebaliknya, para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap
individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib
atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan
keberadaannya, dalam hal ini “pilihan” menjadi evaluasi tertinggi dari tindakan
yang akan diambil oleh seseorang.
Teori
eksistensial-humanistik menekankan renungan filosofi tentang apa artinya
menjadi manusia. Banyak para ahli psikologi yang berorientasi
eksistensial,mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku pada
metode-metode yang digunakan oleh ilmu alam.
Terapi
eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa lari dari kebebasan
dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab berkaitan. Dalam penerapan-penerapan
terapeutiknya eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada filosofis yang
melandasi terapi. Pendekatan atau teori eksistensial-humanistik menyajikan
suatu landasan filosofis bagi orang berhubungan dengan sesama yang menjadi ciri
khas, kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui
implikasi-implikasi bagi usaha membantu dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan
dasar yang menyangkut keberadaan manusia.
Pendekatan
eksistensial-humanistik mengembalikan pribadi kepada fokus sentral, sentral
memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya yang tertinggi. Ia
menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam proses pemenjadian dan bahwa manusia
secara sinambung mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial
secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia – kesadaran
diri dan kebebasan yang konsisten.
Pendekatan
Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan
suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan
Eksistensial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang
bertujuan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial-humanistik
bukan merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup
terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan
asumsi-asumsi tentang manusia.
Konsep Utama
Terapi Humanistik-Eksistensial
- Kesadaran Diri
Manusia
memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang
unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin
kuat kesadaran diri seorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada
pada orang itu. Kesadaran untuk memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan
secara bebas didalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada
manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para
ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.
- Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran
atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi
atribut dasar pada manusia. Kecemasan ekstensial bisa diakibatkan atas
keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati
(nonbeing). Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan
individu sekarang, sebab kesasaran tersebut menghadapkan individu pada
kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan
potensi-potensinya. Dosa ekstensial yang juga merupakan bagian kondisi manusia.
Adalah akibat dari kegagalan individu untuk benar-benar menjadi sesuatu sesuai
dengan kemampuannya.
- Penciptaan Makna
Manusia itu
unik dalam arti bahwa ia berusaha untuk menentukan tujuan hidup dan menciptakan
nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga
berarti menghadapi kesendirian (manusia lahir sendirian dan mati sendirian
pula). Walaupun pada hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk
berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia
adalah mahluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa
menimbulkan kondisi-kondisi isolasi dipersonalisasi, alineasi, keterasingan,
dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni
mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu, jika tidak
mampu mengaktualkan diri, ia bisa menajdi “sakit”.
Tujuan-tujuan
Terapeutik
Terapi
eksistensial bertujuan agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan
menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat
membuka diri dan bertindak atas kemampuannya.
Fungsi dan
Peran Terapis dalam Terapi Humanistik-Eksistensial
Terapis
dalam terapi humanistik eksistensial mempunyai tugas utama, yaitu berusaha
untuk memahami klien sebagai sesuatu yang ada di dalam dunia ini. Dimana
tekhnik yang digunakannya itu selalui mendahului suatu pemahaman yang mendalam
terhadap kliennya. Prosedur yang digunakan bisa bervariasi, tidak hanya dari
klien yang satu ke klien yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase
terapi yang dijalani oleh klien yang sama.
Prosedur dan
Teknik Terapi
Menurut
Baldwin (1987), inti dari terapi ini adalah penggunaan pribadi terapi
1. Kapasitas
Untuk Sadar Akan Dirinya : Implikasi Konseling.
Meningkatkan
kesadaran diri, yang mencakup kesadaran akan adanya alternative, motivasi,
factor yang mempengaruhi seseorang dan tujuan hidup pribadi, merupakan sasaran
dari semua konseling. Adalah tugas terapis untuk menunjukkan kepada klien bahwa
peningkatan kesadaran memerlukan imbalan.
2. Kebebasan
dan Tanggung Jawab : Implikasi Konseling.
Terapis
eksistensial terus-menerus mengarahkan fokus pada pertanggungjawaban klien atas
situasi mereka. Mereka tidak membiarkan klien menyalahkan orang lain, menyalahkan
kekuatan dari luar, ataupun menyalahkan bunda mengandug. Apabila klien tidak
mau mengakui dan menerima pertanggungjawaban bahwa sebenarnya mereka sendirilah
yang menciptakan situasi yang ada, maka sedikit saja motivasi mereka untuk ikut
terlibat dalam usaha perubahan pribadi (May & Yalom, 1989; Yalom 1980).
Terapis
membantu klien dalam menemukan betapa mereka telah menghindari kebebasan dan
membangkitkan semangat mereka untuk belajar mengambil resiko dengan menggunakan
kebebasan itu. Kalau tidak berbuat seperti itu berarti klien tak mampu berjalan
dan secara neurotik menjadi tergantung pada terapis.
Terapis
perlu mengajarkan klien bahwa secara eksplisit mereka menerima fakta bahwa
mereka memiliki pilihan, meskipun mereka mungkin selama hidupnya selalu
berusaha untuk menghindarinya.
3. Usaha
Untuk Mendapatkan Identitas dan Bisa Berhubungan Dengan Orang Lain : Implikasi
Konseling.
Bagian dari
langkah terapeutik terdiri dari tugasnya untuk menantang klien mereka untuk mau
memulai meneliti cara dimana mereka telah kehilangan sentuhan identitas mereka,
terutama dengan jalan membiarkan orang lain memolakan hidup bagi mereka. Proses
terapi itu sendiri sering menakutkan bagi klien manakala mereka melihat
kenyataan bahwa mereka telah menyerahkan kebebasan mereka kepada orang lain dan
bahwa dalam hubungan terapi mereka terpaksa menerima kembali. Dengan jalan
menolak untuk memberikan penyelesaian atau jawaban yang mudah maka terapis
memaksa klien berkonfrontasi dengan realitas yang hanya mereka sendiri yang harus
bisa menemukan jawaban mereka sendiri.
4. Pencarian
Makna : Implikasi Konseling.
Berhubungan
dengan konsep ketidakbermaknaan adalah apa yang oleh pratis eksistensial
disebut sebagai kesalahan eksistensial. Ini adalah kondisi yang tumbuh dari
perasaan ketidaksempurnaan atau kesadaran akan kenyataan bahwa orang ternyata
tidak menjadi siapa dia seharusnya. Ini adalah kesadaran bahwa tindakan serta
pilihan sesorang mengungkapkan kurang dari potensi sepenuhnya yang dimilikinya
sebagai pribadi. Manakala orang mengabaikan potensi-potensi tertentu yang
dimiliki, maka tentu ada perasaan kesalahan eksistensial ini. Beban kesalahan
ini tidak dipandang sebagai neurotik, juga bukan sebagai gejala yang memerlukan
penyembuhan. Yang dilakukan oleh terapis eksistensial adalah menggalinya untk
mengetahui apa yang bisa dipelajari klie tentang cara mereka menjalani
kehidupan. Dan ini bisa digunakan untuk menantang kehadiran makna dan arah
hidup.
5. Kecemasan
Sebagai Kondisi Dalam Hidup : Implikasi Konseling.
Kecemasan
merupakan materi dalam sesi terapi produktif. Kalau klien tidak mengalami
kecemasan maka motivasi untuk mengalami perubahan menjadi rendah. Jadi, terapis
yang berorientasi eksistensial dapat menolong klien mengenali bahwa belajar
bagaimana bertenggang rasa dengan keragu-raguan dan ketidakpastian dan
bagaimana caranya hidup tanpa ditopang bisa merupakan tahap yang perlu dialami
daam perjalanan dari hidup yang serba tergantung kea lam kehidupan sebagai
manusia yang lebih autonom. Terapis dan klien dapat menggali kemungkinan yang
ada, yaitu bahwa melepaskan diri dari pola yang tidak sehat dan membangun gaya
hidup baru bisa disertai dari pola yang tidak sehat dan membangun gaya hidup
baru bisa berkurang pada saat klien mengalami hal-hal yang ebih memuaskan dengan
cara-cara hidup yang lebih baru. Maakala klien menjadi lebih percaya diri maka
kecemasan mereka sebagai akibat dari ramalan-ramalan akan datangnya bencana
akan menjadi berkurang.
6. Kesadaran
Akan Maut dan Ketiadaan : Implikasi Konseling.
Latihan
dapat memobilisasikan klien untuk secara sungguh-sungguh memantapkan waktu yang
masih mereka miliki, dan ini bisa menggugah mereka untuk mau menerima
kemungkinan bahwa mereka bisa menerima keberadaannya sebagai mayat hidup
sebagai pengganti kehidupan yang lebih bermakna.
Tahap-tahap
Pelaksanaan Terapi Humanistik Eksistensial
Pendekatan
ini bisa menggunakan beberapa teknik dan konsep psikoanalitik dan juga bisa
menggunakan teknik kognitif-behavioral. Metode ini berasal dari Gestalt dan
analisis transaksional. Terdapat tiga tahap yang dapat dilakukan oleh terapis
dalam terapi humaniatik eksistesial, antara lain :
- Tahap pendahuluan
Konselor
mambantu klien dalam mengidentifikasi dan mnegklarifikasi asumsi mereka
terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka
diterima. Konselor mengajarkan mereka bercemin pada eksistensial mereka dan
meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka.
- Tahap pertengahan
Klien
didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dan
sistem mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan
restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik
dan dianggap pantas.
- Tahap akhir
Berfokus
untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka.
Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit.
Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupannya
yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang
alat untuk membuat klien sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas
penggunaan kebebasan pribadinya.
Kekurangan
dan Kelebihan Terapi Humanistik-Ekstensial
- Kelebihan
- Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
- Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri
- Memanusiakan manusia
- Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, analisis terhadap fenomena sosial.
- Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien seperti masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa
- Kelemahan
- Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal
- Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas
- Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri)
- Memakan waktu lama.
Contoh
Kasus yang Biasa Ditangani dan Efeknya
- Kasus Pertama :
Sebagai
contoh, Leon seorang mahasiswa, mungkin melihat dirinya sebagai dokter masa
depan, tetapi nilainya yang dikeluarkan dari sekolah kedokteran ternyata
dibawah rata-rata. Perbedaan antara dengan apa Leon melihat dirinya
(konsep diri) atau bagaimana ia ingin melihat dia (ideal konsep diri) dan
realitas kinerja akademis yang buruk dapat menyebabkan kegelisahan dan
kerentanan pribadi, yang dapat memberikan motivasi yang diperlukan untuk masuk
terapi. Leon harus melihat bahwa ada masalah atau, setidaknya bahwa ia
tidak cukup nyaman untuk menghadapi penyesuaian psikologis untuk mengeksplorasi
kemungkinan untuk perubahan.
Konseling
berlangsung, klien dapat mengeksplorasi lebih luas keyakinannya dan perasaan
(Rogers, 1967). Mereka dapat mengekspresikan ketakutan mereka, rasa
bersalah kecemasan, malu, kebencian, kemarahan, dan lain sebagainya. emosi
telah dianggap terlalu negatif untuk menerima dan memasukkan ke dalam diri
mereka. Dengan terapi, orang distortir kurang dan pindah ke penerimaan
yang lebih besar dan integrasi perasaan yang saling bertentangan dan
membingungkan. Mereka semakin menemukan aspek dalam diri mereka yang telah
disimpan tersembunyi.
Sebagai
klien merasa dimengerti dan diterima, mereka menjadi kurang defensif dan
menjadi lebih terbuka terhadap pengalaman mereka. Karena mereka merasa
lebih aman dan kurang rentan, mereka menjadi lebih realistis, menganggap orang
lain dengan akurasi yang lebih besar, dan menjadi lebih mampu untuk memahami
dan menerima orang lain. Individu dalam terapi datang untuk menghargai
diri mereka lebih seperti mereka, dan perilaku mereka menunjukkan lebih banyak
fleksibilitas dan kreativitas. Mereka menjadi kurang peduli tentang
memenuhi harapan orang lain, dan dengan demikian mulai berperilaku dengan cara
yang lebih benar untuk diri mereka sendiri. Mereka bergerak ke arah yang lebih
berhubungan dengan apa yang mereka alami pada saat ini, kurang terikat oleh
masa lalu, kurang ditentukan, lebih bebas untuk membuat keputusan, dan semakin
percaya diri masuk untuk mengelola kehidupan mereka sendiri.
Dari contoh
kasus Leon dapat diambil kesimpukan bahwa salah satu alasan klien mencari
terapi adalah perasaan tidak berdaya dasar, dan ketidakmampuan untuk membuat
keputusan atau secara efektif mengarahkan hidup mereka sendiri. Mereka
mungkin berharap untuk menemukan “jalan” melalui bimbingan terapis. Dalam
kerangka orang-terpusat, namun klien segera belajar bahwa mereka dapat
bertanggung jawab untuk diri mereka sendiri dalam hubungan dan bahwa mereka
dapat belajar menjadi lebih bebas dengan menggunakan hubungan untuk mendapatkan
diri yang lebih besar pemahaman.
- Kasus Kedua :
Sungguh
mengenaskan, seorang ibu muda (Junania Mercy 37) meracuni ke-empat
anak-anaknya, memandikan mereka, menyisir rambutnya, kemudian disandingkan
bersama-sama dengan rapi diatas tempat tidur. Kemudian baru sang ibu mengakhiri
hidupnya dengan minum racun yang sama. Kejadian yang cukup menyayat hati, 4
orang anak kecil itu bagaikan sedang tidur saja, sang ibu ingin anak-anaknya
ditemukan dalam keadaan bersih dan rapi. Bisa dibayangkan bahwa ibu itu
menyaksikan anaknya sekarat, entah muntah, entah buang-air, entah badannya
kejang-kejang karena keracunan. Ia merekamnya dengan sebuah ponsel kemudian ia
membersihkannya dan menata mayat anak-anaknya dengan rapi. Waktu yang mungkin
cukup panjang prosesnya. Kemudian ia memilih pakaian terbaiknya dan mengakhiri
hidupnya. Dan tentu saja mayat sang ibu ketika ditemukan tidak sebersih
anak-anaknya.
Ibu Mercy
adalah gambaran seorang yang mempunyai tekanan berat, persoalan rumah-tangga,
ekonomi dan problem kesehatan anak ke-2nya yang mempunyai penyakit kelainan
darah yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Tak tahu kemana lagi harus meminta
tolong, dan ia kemudian menjerit dengan jeritan yang tak terungkapkan dengan
suara, ia bunuh diri.
Pada saat
seorang klien ingin bunuh diri karena merasa sudah tidak dapat menanggung beban
hidup diri & keluarganya, seperti kasus bu Mercy. Terapis Eksistensial
mungkin memandangnya sebagai simbolik. Karena bukankah berarti klien merasa
mati sebagai pribadi, apakah klien menggunakan potensi manusiawinya, apakah
klien memilih mati hanya sekedar mengukuhkan kehidupan. Terapis Eksistensial
akan mengonfrontasikan klien dengan masalah makna dan maksud dalam hidupnya.
Sehingga klien mempunyai alasan untuk ingin melanjutkan hidup & melakukan
sesuatu untuk menemukan guna tujuan yang akan membuat dirinya merasa lebih
berarti dan hidup, karena dalam terapis konselor akan mengajak klien memahami
dirinya sendiri sebagai manusia yang hidup berdampingan dan selalu dihadapkan
oleh kenyataan-kenyataan pahit atau manis sehingga mampu eksis dalam
kehidupannya.
Perasaan
bersalah (kasus: tidak mampu membiayai pengobatan anaknya) adalah kekuatan
dominan dalam kehidupan klien. Bagaimanapun banyak dari perasaan bersalahnya
yang merupakan perasaan bersalah neurotik karena ia berlandaskan pandangan
tentang mengecewakan orang lain dan bukan memenuhi pengharapan mereka. Klien
harus belajar bahwa perasaan bersalah akan berguna jika berlandaskan
kesadarannya atas penyia-nyian potensinya sendiri. Terapi eksistensial akan
melihat harapan klien dalam belajar untuk menemukan keterpusatannnya sendiri
dan dalam hidup dengan nilai-nilai yang dipilih dan diciptakannya sendiri. Dia
juga bisa berhubungan dengan orang lain dengan kekuatannya sendiri untuk
membentuk suatu hubungan yang dependen.
Tujuan dari
terapi ini adalah menyajikan kondisi-kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri
dan pertumbuhan. Menghapus penghambat-penghambat aktualisasi potensi pribadi.
Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas
kesadaran diri. Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab arah
kehidupannya sendiri.
- Kasus Ketiga: Introspeksi Sebagai Terapi Humanistik Eksistensial
Introspeksi
adalah proses pengamatan terhadap diri sendiri dan pengungkapan pemikiran dalam
yang disadari, keinginan, dan sensasi. Proses tersebut berupa proses mental
yang disadari dan biasanya dengan maksud tertentu dengan berlandaskan pada
pikiran dan perasaannya. Bisa juga disebut sebagai kontemplasi pribadi, dan
berlawanan dengan ekstropeksi yang berupa pengamatan terhadap objek-objek di
luar diri. Introspeksi mepunyai arti yang sama dengan refleksi diri.
Sering
dikatakan bahwa Wilhelm Wundt, bapak psikologi modern adalah orang pertama yang
mengadopsi introspeksi pada psikologi eksperimental, meskipun gagasan
metodologisnya telah disajikan lama sebelumnya, seperti pada abad ke-18 filsuf
merangkap psikolog Jerman seperti Alexander Gottlieb Baumgarten atau Johann
Nicolaus Tetens. Introspeksi adalah pemeriksaan pikiran dan perasaan sadar diri
sendiri. Dalam psikologi proses introspeksi bergantung secara eksklusif pada
pengamatan kondisi mental seseorang, sementara dalam konteks spiritual mungkin
merujuk pada pemeriksaan jiwa seseorang. Introspeksi berkaitan erat dengan
refleksi diri manusia dan kontras dengan ekstrospeksi. Introspeksi umumnya
menyediakan akses istimewa ke keadaan mental kita sendiri, tidak dimediasi oleh
sumber-sumber pengetahuan lainnya, sehingga pengalaman individu dari pikiran
adalah unik. Introspeksi dapat menentukan sejumlah keadaan mental termasuk:
Sensorik, fisik, kognitif, emosional dan sebagainya.
Pada
beberapa kepercayaan introspeksi digunakan sebagai cara untuk terapi diri
contohnya adalah pada agama Islam, penganut agama Islam mengenal introspeksi
diri dengan kata muhasabah. Muhasabah sendiri memiliki arti introspeksi
atau mawas atau meneliti diri, yaitu menghitung perbuatan pada tiap tahun, tiap
bulan, tiap hari bahkan setiap saat. Dalam bermuhasabah seorang muslim
melakukan review terhadap apa yang telah dilakukannya selama ini adalah benar
dan sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Kegiatan ini memiliki kesamaan
dengan salah satu metode psikoterapi yaitu self-help atau menolong diri sendiri
serta dalam pelaksanaan instropeksi diri menggunakan prinsip humanistik bahwa
sebenarnya jawaban atas masalah manusia terdapat dalam dirinya sendiri.
Dalam
melakukan introspeksi seseorang melakukan pengamatan terhadap apa yang telah ia
lakukan selama ini, kemudian ia menilai apakah yang ia lakukan telah sesuai
dengan hidupnya atau tidak, yaitu apakah ia sudah memenuhi perannya dengan baik
(sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, dan sesuai status yang melekat
pada dirinya). Setelah melakukan proses pengamatan tersebut jika sudah
terpenuhi maka ia dapat menyukuri atau menaikkan tujuannya lebih tinggi, namun
jika belum terpenuhi maka ia akan melakukan pemikiran yang lebih jauh untuk menemukan
hal-hal yang menghambatnya dalam memenuhi perannya serta menentukan tindakan
serta membangun rencana yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi diri
untuk mencapai tujuan pemenuhan peran tersebut.
Metode Terapi Psikoanalisa
Psikoanalisa secara umum berarti suatu pandangan tentang manusia, dimana
ketidaksadaran memegang peranan sentral. Psikoanalisa memandang kejiwaan
manusia sebagai ekspresi dari adanya dorongan yang menimbulkan konflik. Konflik
timbul karena ada dorongan-dorongan yang saling bertentangan, baik dari dorongan
yang disadari maupun yang tidak disadari. Tokoh utama dari psikoanalisa adalah
Sigmund Freud. Teori dan teknik Freud yang membuatnya termasyhur adalah upaya
penyembuhan mental pasiennya yang dikenal dengan istilah Psychoanalysis dan
pandangan mengenai peranan dinamis ketidaksadaran dalam hidup psikis manusia.
Psikoanalisa sebagai teori dari psikoterapi menguraikan bahwa gejala neurotik
pada seseorang timbul karena tertahannya ketegangan emosi yang ada, ketegangan
yang ada kaitannya dengan ingatan mengenai hal-hal yang traumatik pada masa
kanak-kanak yang ditekan.Terapi psikoanalisa adalah teknik pengobatan yang dilakukan oleh terapis dengan cara menggali permasalahan dan pengalaman yang direpresnya selama masa kecil serta memunculkan dorongan-dorongan yang tidak disadarinya selama ini. Teknik ini menekankan menggali seluruh informasi permasalahan dan menganalisis setiap kata-kata yang diungkapkan oleh klien. Didalam terapi psikoanalisa ini sangat dibutuhkan sifat dari terapeutik, maksudnya adalah adanya hubungan interpersonal dan kerja sama yang professional antara terapis dan klien, terapis harus bisa menjaga hubungan ini agar klien dapat merasakan kenyamanan, ketenangan dan bisa rileks menceritakan permasalahan serta tujuannya untuk menemui terapis.
Terapi psikoanalisa biasa digunakan atau diterapkan untuk orang-orang dengan masalah yang berkaitan dengan konsep utama dari psikoanalisa seperti adanya alam bawah sadar pada manusia yang mampu mendorong 3 prinsip dasar dari psikoanalisa sendiri (Id, Ego, Super Ego), hal kejiwaan yang merupakan bagian kesadaran (consciousness) dan ketidaksadaran (unconsiousness), serta mengedepankan pengaruh pengalaman-pengalaman dimasa lalu. Contoh beberapa masalah yang dihadapi antara lain: masalah dalam menjalin hubungan dengan orang lain, masalah yang berhubungan dengan akademik, depresi, kecemasan, trauma, dan masalah dimasa lalu yang mengganggu fungsi seseorang melakukan aktifitasnya sehari-hari.
Dalam melakukan terapi psikoanalisa ini ada beberapa teknik yang dapat digunakan, yaitu sebagai berikut;
Asosiasi Bebas
Asosiasi bebas sebagai teknik utama dalam psikoanalisis. Salah satu pasien Freud, menyebut metode free association sebagai “penyembuhan dengan bicara”. Maksudnya suatu metode terapi yang dirancang untuk memberikan kebebasan secara total kepada pasien dalam mengungkapkan segala apa yang terlintas dibenaknya, termasuk mimpi-mimpi, berbagai fantasi, dan hal-hal konflik dalam dirinya tanpa diagenda, dikomentari, ataupun banyak dipotong, apalagi disensor. Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal dengan katarsis. Asosiasi merupakan salah satu dari peralatan dasar sebagai pembuka pintu keinginan, khayalan, konflik, serta motivasi yang tidak disadari. Dalam tehnik ini Freud menggunakan Hipnotis untuk mendapatkan data-data dari klien mengenai hal-hal yang dia pikirkan dialam bawah sadarnya, dengan tehnik ini klien dapat mengutarakan apapun yang dia rasakan tanpa ada yang disembunyikan sehingga psikoterapis dapat menganalisis masalah apa yang sebenarnya terjadi pada klien. Penerapan metode ini dilakukan dengan posisi klien berbaring diatas dipan/sofa sementara terapis duduk dibelakangnya, sehingga tidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas. Dalam hal ini terapis fokus bertugas untuk mendengarkan, mencatat, menganalisis bahan yang direpres, memberitahu/membimbing pasien memperoleh insight (dinamika yang mendasari perilaku yang tidak disadari).
Interpretasi atau Penafsiran
Interpretasi adalah prosedur dasar yang digunakan dalam analisis asosiasi bebas, analisis mimpi, analisis resistensi dan analisis transparansi. Caranya adalah dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi, dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi interpretasi adalah membiarkan ego untuk mencerna materi baru dan mempercepat proses menyadarkan hal-hal yang tersembunyi atau proses pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalanginya alam bawah sadar pada diri klien. Analis harus benar-benar menyadari mekanisme-mekanisme dan berbagai dorongan untuk mempertahankan dirinya sebab kalau tidak dia akan jatuh ke dalam perangkap penafsiran terhadap berbagai perasaan dan pikiran dinamik pasien menurut sederet pengalaman dan masalah hidup analis sendiri. Penafsiran oleh analis harus memperhatikan waktu. Dia harus dapat memilah atau memprediksi kapan waktu yang baik dan tepat untuk membicarakan penafsirannya kepada pasien.
Analisis Mimpi
Studi Freud yang mendalam tentang mimpi melahirkan pandangan-pandangan kritisnya tentang hal ini. Baginya mimpi merupakan perwujudan dari materi atau isi yang tidak disadari, yang memasuki kesadaran lewat yang tersamar dan bersifat halusinasi atas keinginan-keinginan yang terpaksa ditekan. Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya. Bagian teori tentang mimpi yang paling hakiki dan vital bagi Freud adalah adanya kaitan antara distorsi mimpi dengan suatu konflik batiniah atau semacam ketidakjujuran batiniah. Oleh karena itu Freud mencetuskan teknik analisis mimpi. Analisis mimpi merupakan prosedur yang penting untuk membuka hal-hal yang tidak disadari dan membantu klien untuk memperoleh pemahaman kepada masalah-masalah yang belum terpecahkan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan muncul ke permukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan “jalan istimewa menuju ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Pada teknik ini biasanya para psikoterapis memfokuskan mimpi-mimpi yang bersifat berulang, menakutkan dan sudah pada taraf mengganggu. Tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifes. Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkap makna-makna yang terselubung.
Analisis dan interpretasi resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut. Analisis dan penafsiran resistensi, ditujukan untuk membantu klien agar menyadari alasan-alasan yang ada dibalik resistensi sehingga dia bisa menanganinya, terapis meminta klien menafsirkan resistensi. Tujuannya adalah mencegah material-material mengancam yang akan memasuki kesadaran klien, dengan cara mencegah klien mengungkapkan hal-hal yang tidak disadarinya.
Analisis dan interpretasi transferensi
Transferensi adalah pengalihan sikap, perasaan dan khayalan pasien. Transferensi muncul dengan sendirinya dalam proses terapeutik pada saat dimana kegiatan-kegiatan klien masa lalu yang tak terselesaikan dengan orang lain, menyebabkan dia mengubah masa kini dan mereaksi kepada analisis sebagai yang dia lakukan kepada ibunya atau ayahnya ataupun siapapun. Transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang terpendam atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh pasien kepada terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti. Transferensi dinilai sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketidaksadaran pasien karena alat ini mendorong klien untuk menghidupkan kembali berbagai pengalaman emosional dari tahun-tahun awal kehidupannya. Teknik analisis transferensi dilakukan agar klien mampu mengembangkan tranferensinya guna mengungkap kecemasan-kecemasan yang dialami pada masa lalunya (masa anak-anak), sehingga terapis punya kesempatan untuk menginterpretasi tranferen. Dan pada teknik ini terapis menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif serta tidak memberikan saran. Transferensi pada tahap yang paling kritis berefek abreaksi (pelepasan tegangan emosional) pada pasien. Efek lain yang mungkin, ada dua, yaitu positif dan negatif. Positif: saat pasien secara terbuka mentransferkan perasaan-perasaannya sehingga menyebabkan kelekatan, ketergantungan, bahkan cinta kepada terapis. Negatif: saat kebencian, ketidaksabaran, dan kadang-kadang perlawanan yang keras terhadap terapis. Dan ini dapat berefek fatal terhadap proses terapi.
Terapi psikoanalisa ini dapat dihentikan atau dianggap selesai saat klien mengerti akan kenyataan yang sesungguhnya, alasan mengapa mereka melakukan perilaku abnormal, dan menyadari bahwa perilaku tersebut tidak seharusnya mereka lakukan, lalu mereka sadar untuk menghentikan perilaku itu. Terapi psikoanalisa bertujuan untuk mengubah kesadaran individu, sehingga segala sumber permasalahan yang ada didalam diri individu yang semulanya tidak sadar menjadi sadar, mengatasi tahap-tahap perkembangan tidak terpecahkan, membantu klien menyesuaikan dan mengatasi masalahnya, rekonstruksi kepribadian serta meningkatkan kontrol ego sehingga dapat menghadapi kehidupan yang realita, dan mengubah perilaku klien menjadi lebih positif.
Terapi psikoanalisa ini lebih efektif digunakan untuk mengetahui masalah pada diri klien, karena prosesnya dimulai dari mencari tahu pengalaman-pengalaman masa lalu pada diri klien. Apalagi terapi ini memiliki dasar teori yang kuat. Terapi ini bisa membuat klien mengetahui masalah apa yang selama ini tidak disadarinya. Namun terapi ini tetap memiliki kekurangan seperti diperlukan waktu yang panjang dalam melaksanakan terapi, memakan biaya yang banyak, dan memungkinkan klien menjadi jenuh saat terapi.
PERSON-CENTERED
THERAPY (ROGERS)
1. Konsep Dasar Pandangan Carl Rogers tentang Perilaku atau Kepribadian
Pandangan tentang sifat manusia.
Pandangan client-centered tentang sifat manusia menolak konsep tentang kecenderungan-kecenderungan negatif dasar. Sementara beberapa pendekatan beranggapan bahwa manusia menurut kodratnya adalah irasional dan berkecenderungan merusak terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain kecuali jika telah menjalani sosialisasi, Rogers menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang manusia sebagai tersosialisasi dan bergerak ke muka, sebagai berjuang untuk berfungsi penuh, serta sebagai pemilik kebaikan yang positif.
Pandangan tentang manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi praktek terapi client-centered. Berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesanggupan yang koheren untuk menjauhi maladjustment menuju keadaan psikologi yang sehat, terapis meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada klien. Model client-centered menolak konsep yang memandang terapis sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik dan memandang manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perintah terapis. Oleh karena itu, terapi client-centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat keputusan. Dengan demikian, meningkatkan kesadaran berarti meningkatkan kesanggupan seseorang untuk mengalami hidup secara penuh sebagai manusia
1. Konsep Dasar Pandangan Carl Rogers tentang Perilaku atau Kepribadian
Pandangan tentang sifat manusia.
Pandangan client-centered tentang sifat manusia menolak konsep tentang kecenderungan-kecenderungan negatif dasar. Sementara beberapa pendekatan beranggapan bahwa manusia menurut kodratnya adalah irasional dan berkecenderungan merusak terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain kecuali jika telah menjalani sosialisasi, Rogers menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang manusia sebagai tersosialisasi dan bergerak ke muka, sebagai berjuang untuk berfungsi penuh, serta sebagai pemilik kebaikan yang positif.
Pandangan tentang manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi praktek terapi client-centered. Berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesanggupan yang koheren untuk menjauhi maladjustment menuju keadaan psikologi yang sehat, terapis meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada klien. Model client-centered menolak konsep yang memandang terapis sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik dan memandang manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perintah terapis. Oleh karena itu, terapi client-centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat keputusan. Dengan demikian, meningkatkan kesadaran berarti meningkatkan kesanggupan seseorang untuk mengalami hidup secara penuh sebagai manusia
2. Unsur-Unsur Terapi
a. Tujuan-tujuan terapeutik
Tujuan dasar dari terapi client-centered adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, terapis perlu mengusahakan agar klien bisa memahami hal-hal yang ada di balik topeng yang dikenakannya.
Rogers (1961) menguraikan ciri-ciri orang yang bergerak ke arah menjadi bertambah teraktualkan:
1) Keterbukaan kepada pengalaman
Keterbukaan kepada pengalaman memerlukan memandang kenyataan tanpa mengubah bentuknya supaya sesuai dengan struktur diri yang tersusun lebih dulu. Sebagai lawan kebertahanan, keterbukaan kepada pengalaman menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya. Ia juga berarti bahwa kepercayaan-kepercayaan orang tidak kaku, dia dapat tetap terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan serta bisa menoleransi kedwiartian. Orang memiliki kesadaran atas diri sendiri pada saat sekarang dan kesanggupan mengalami dirinya dengan cara-cara yang baru.
2) Kepercayaan terhadap organisme sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Acap kali, pada tahap permulaan terapi, keperayaan klien terhadap diri sendiri dan terhadap putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Dengan meningkatnya keterbukaan klien kepada pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan klien kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.
3) Tempat evaluasi internal
Tempat evaluasi internal, yang berkaitan dengan kepercayaan diri, berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban kepada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya ketimbang mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetukjuan dari diri sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
4) Kesediaan untuk menjadi suatu proses
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian, yang merupakan lawan dari konsep tentang diri sebagai produk, sangat penting. Meskipun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula untuk membangun keadaan berhasil dn berbahagia (hasil akhir), mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaan serta membuka diri bagi pengalaman baru dan revisi-revisi alih-alih menjadi wujud yang membeku.
b. Fungsi dan peran terapis
Peran terapis client-centered berakar pada cara-cara keberadaanny dan sikap-sikapnya, bukan pada penggunaan teknik-teknik yang dirancang untuk menjadikan klien "berbuat sesuatu". Pada dasarnya, terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah. Dengan menhadapi klien pada taraf pribadi-ke-pribadi, maka "peran" terapis adalah tanpa peran. Adapun fungsi terapis adalah membangun suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan klien.
Jadi, terapis client-centered membangun hubungan yang membantu di mana klien akan menjadi kebebasan yang membantu di mana klien akan mengami kebebasan yang diperlukan untuk mengeksplorasi area-area hidupnya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Klien menjadi kurang defensif dan menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam dirinya maupun dalam dunia.
Yang pertama dan terutama, terapis harus bersedia menjadi nyata dalam hubungan dengan klien. Terapis menghadapi klien berlandaskan pengalaman dari saat ke saat dan membantu klien dengan jalan memasuki dunianya alih-alih menurut kategori diagnostik yang telah dipersiapkan. Melalui perhatian yang tulus, respek, penerimaan, dan pengertian terapis, klien bisa menghilangkan pertahanan-pertahanan dan persepsi-persepsinya yang kaku serta bergerak menuju taraf fungsi peribadi yang lebih tinggi.
c. Hubungan antara terapis dan klien
Terapis mampu menjangkau dunia pribadi klien sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan didasarkan oleh klien, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari klien, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.
3. Teknik-Teknik Terapi
Morse dan Watson (1977) mengungkapkan terapis client-centered juga harus memegang sikap menerima dan menganggap positif terhadap kliennya. Terapis juga harus memiliki keinginan yang terus menerus untuk memahami dunia pribadi kliennya, dan dia harus berkomunikasi memahami dengan empati.
Ada sejumlah teknik tertentu yang membantu terapis dalam interaksi dengan klien. Salah satu teknik adalah dengan clarification of the client's feelings, dimana akan mencerminkan perasaan klien.
Teknik lain adalah simple acceptance, restatement of content, dan nondirective leads.
Simple acceptance: dimana terapis memngusahakan klien dapat menerima keterangan dari terapis, menambah komunikasi sebagai pemahaman secara empati dan hal positif tanpa syarat. Hal ini dapat dilakukan baik secara verbal dan nonverbal.
Restatement of content: untuk membantu pemahaman klien dari masalah yang mungkin membingungkan.
Nondirective leads: intinya jelas dalam awal terapi. Terapi membantu klien untuk mengembangkan topik dan untuk mengarahkan diskusi dalam situasi terapi.
LOGOTERAPI (FRANKL)
1. Konsep Dasar Pandangan Frankl tentang Perilaku/Kepribadian
Frankl menyetujui konsep sigmund freud mengenai ketidaksadaran tetapi menganggap kemauan untuk lebih mendasar dari kesenangan. Perbedaan utama antara logotherapy dan psikoanalisis adalah bahwa Freud dan Adler fokus pada masa lalu, sementara logoterapi lebih berfokus pada masa depan.
Logoterapi berarti terapi melalui makna dan mengacu pada pendekatan yang berorientasi pada spiritual Frankl untuk psikoterapi.
Hubungan terapis dengan klien
Frankl cenderung menekankan kemitraan antara klien dan terapis selama pencarian makna.
1) komitmen untuk berkomunikasi secara otentik dengan terapis
2) komunikasi terapis paling dasar menekankan kemanusiaan
3) perhatian utama terapis adalah menjadi seperti klien.
3. Teknik-Teknik Terapi
a. Paradoxial Intention
Klien didorong untuk melakukan sesuatu pada hal yang sangat ia takuti ( mulai dari fobia hingga ke obsesif kompulsif). Teknik ini didasarkan pada kemampuan manusia untuk dapat memutus lingkaran setan, yaitu orang dengan neurosis psikogenik, seperti fobia, kecemasan, dan perilaku obsesif-kompulsif. Pada penerapan intensi paradoksial, terapis mencoba, untuk memobilisasi dan memanfaatkan kapasitas ekslusif manusia.
Pada kasus gangguan obsesif-kompulsif klien berperang melawan obsesi atau dorongan . Namun, semakin ia melawan, gejala tersebut justru semakin menjadi kuat, mengacu pada Guttmann, intensi paradoksial telah digunakan dengan mepeningkatkan frekuensi dengan hasil yang baik terutama dalam mengobati klien yang menderita fobia dan gangguan obsesif-kompulsif.
b. Dereflection
Teknik ini dibangun pada kapasitas self-distancing dan self-transcendence manusia. Klien diminta untuk mengarahkan perhatian mereka jauh dari masalah mereka ke aspek yang lebih positif dari kehidupan mereka.
c. Modification of attitudes
Digunakan untuk noogenic neurosis, depresi, dan kecanduan. Ini juga dapat digunakan dalam menghadapi penderitaan yang terkait dengan keadaan, nasib atau penyakit. Penekanannya pada pada reframing sikap dari negatif ke positif.
Perbedaan
Terapi Humanistik Eksistensial dengan Person-Centered Therapy (Rogers)
Terapi humanistik eksistensial berfokus
pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan suatu sikap yang menekankan pada
pemahaman atas manusia. Pendekatan Eksistensial-Humanistik dalam konseling
menggunakan sistem tehnik-tehnik yang bertujuan untuk mempengaruhi konseli.
Pendekatan terapi eksistensial-humanistik bukan merupakan terapi tunggal,
melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang
kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.
Sedangkan person-centered therapy tentang sifat manusia menolak konsep
tentang kecenderungan-kecenderungan negatif dasar. Sementara beberapa
pendekatan beranggapan bahwa manusia menurut kodratnya adalah irasional dan
berkecenderungan merusak terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain
kecuali jika telah menjalani sosialisasi, Rogers menunjukkan kepercayaan yang
mendalam pada manusia. Ia memandang manusia sebagai tersosialisasi dan bergerak
ke muka, sebagai berjuang untuk berfungsi penuh, serta sebagai pemilik kebaikan
yang positif. Pandangan tentang manusia yang positif ini memiliki
implikasi-implikasi yang berarti bagi praktek terapi client-centered.
Berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesanggupan yang koheren
untuk menjauhi maladjustment menuju keadaan psikologi yang sehat, terapis
meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada klien.
Daftar Pustaka:
Misiak, henryk.2005.psikologi fenomenologi,eksistensial dan humanistic. Bandung: PT Rafika aditama
D.Gunarsa, Prof.DR.Singgih. (1992). Konseling dan Psikoterapi. Gunung Mulia: Jakarta.
Corey, G. (1995). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: PT Eresco.
No comments:
Post a Comment