Teori Depresi
Prevalensi
depresi meningkat selama masa remaja. Rata-rata tahunan hampir mendekati 9
persen anak-anak muda usia 12 hingga 17 tahun memiliki pengalaman setidaknya
satu episode mengalami depresi dan hanya sekitar 40 persennya telah dirawat National
Survey on Drug Use and Health [NSDUH]. Angka pada umumnya meningkat sesuai bertambahnya usia. Depresi pada orang
muda tidak selalu tampak sebagai bentuk kesedihan, tetapi juga mudah marah,
kejenuhan atau ketidakmampuan untuk menikmati rasa senang. Salah satu alasan
depresi memerlukan penanganan serius adalah karena menimbulkan bahaya bunuh
diri.
Standar
dan tujuan personal yang tinggi dapat berakibat pada pencapaian dan kepuasan
diri. Akan tetapi saat manusia menempatkan suatu tujuan yang terlalu tinggi,
mereka memiliki kemungkinan untuk gagal yang lebih tinggi. Kegagalan sering
berakibat terhadap depresi, dan orang-orang depresi sering menurunkan nilai
pencapaian mereka sendiri. Hasilnya adalah kesedihan kronis, perasaan tidak
berharga, perasaan tidak memiliki tujuan, dan depresi yang bertahan. Bandura
yakin bahwa depresi disfungsi dapat terjadi dalam salah satu dari tiga
subfungsi regulasi diri : (1) observasi diri, (2) proses penilaian, dan (3)
reaksi diri.
Remaja
depresi yang tidak merespons pada penanganan rawat jalan atau yang memiliki
ketergantungan zat-zat atau psikosis atau bunuh diri memerlukan perawatan rumah
sakit. Setidaknya 1 dari 5 orang yang memiliki serangan depresi baik itu di
masa anak-anak atau remaja berisiko menderita gangguan bipolar, ketika episode
depresi (periode “rendah”) berubah menjadi episode manic (periode “tinggi”) yang dikategorikan sebagai meningkatnya
energy, euphoria, sifat muluk, mengambil risiko. Bahkan remaja dengan gejala
yang tidak cukup parah untuk diagnosis depresi berisiko tinggi mengalami
depresi klinis dan perilaku bunuh diri di usia 25 tahun.
Penyebab Depresi
Remaja
putri, terutama yang matang lebih awal, ternyata lebih depresi dibandingkan
remaja putra. Perbedaan gender ini mungkin terkait dengan perbedaan biologis
yang berhubungan dengan pubertas; studi menunjukkan hubungan antara pubertas
dini dengan gejala depresi. Faktor lain yang memungkinkan adalah cara anak
perempuan bersosialisasi dan kerentanan mereka untuk menjadi stress dalam
hubungan sosial. Ditambahkan untuk gender perempuan faktor-faktor resiko untuk
depresi seperti diabetes atau epilepsy, konflik hubungan orang tua dan anak,
dilecehkan atau diabaikan, penggunaan alcohol dan obat-obatan, aktivitas
seksual, dan memiliki orang tua dengan sejarah depresi. Penggunaan alkohol dan
obat-obatan serta aktivitas seksual ternyata memicu depresi pada anak perempuan
dari pada anak laki-laki. Masalah citra tubuh dan gangguan makan dapat
memperburuk gejala depresi.
Depresi
disfungsi menurut Bandura yang pertama, saat observasi diri orang dapat salah dalam menilai performa mereka sendiri atau
mendistorsi ingatan mereka mengenai pencapaian di masa lalu. Orang-orang
depresi cenderung umtuk membesar-besarkan kesalahan mereka di masa lalu, dan
mengecilkan pencapaian mereka terdahulu, suatu kecenderungan yang akan
meningkatkan depresi mereka.
Kedua,
orang-orang depresi lebih mungkin melakukan penilaian yang salah. Mereka
menentukan standar yang tidak realistis dan sangat tinggi, sehingga pencapaian
pribadi apapun akan dinilai sebagai kegagalan. Walaupun mereka telah mencapai
kesuksesan di mata orang lain, mereka terus mengkritik performa mereka. Depresi
lebih mungkin terjadi pada mereka yang menentukan tujuan dan standar personal
yang jauh lebih tinggi daripada persepsi kemampuan mereka untuk mencapai
hal-hal tersebut.
Terakhir,
reaksi diri dari orang-orang depresi cukup berbeda dari mereka yang tidak
depresi. Orang-rang depresi tidak hanya menilai diri mereka dengan keras,
mereka juga cenderung memperlakukan diri mereka dengan buruk karena
keterbatasan-keterbatasan mereka.
Analisis
Depresi
adalah masalah psikologis yang dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya
karena konflik dengan seseorang, merasa di kucilkan, diabaikan, dilecehkan, dan
lain-lain. Orang-orang yang depresi merasa putus asa yang terlalu dalam dan
merasa dirinya tidak berguna. Orang yang depresi cenderung menarik diri dari
lingkungan, tidak melakukan aktivitas selayaknya orang pada umumnya, merasa
tertekan dan terus menerus menganggap rendah dirinya. Dikatakan juga bahwa
seseorang yang depresi dikarenakan memiliki suatu tujuan yang lebih tinggi dari
standar yang ia miliki.
Remaja
putri yang mengalami masa pubertas lebih awal memiliki risiko depresi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan remaja putra. Hal ini dikarenakan perubahan
fisik maupun hormonal yang terjadi pada saat pubertas dipersepsikan secara
berbeda oleh remaja perempuan dan laki-laki. Pada remaja putri, memiliki
penilaian negatif terhadap tubuhnya,mereka sering merasa tidak puas pada
tubuhnya, merasa dirinya gemuk, tidak menarik, dan wajahnya tidak cantik.
Sebaliknya, remaja putra mempersepsikan hal itu secara positif. Menurut
Steinberg, remaja putri memiliki hormon oxytocin yang lebih tinggi dibanding
putra. Hal ini menyebabkan remaja putri memiliki ketertarikan yang lebih tinggi
pada hubungan interpersonal. Tingginya intensitas untuk berhubungan dengan
orang lain, membuat remaja putri lebih tergantung pada orang lain yang dianggap
dapat memberikan dukungan sosial. Akibatnya, remaja putri lebih peka terhadap
penolakan orang lain, mudah merasa tidak puas dengan hubungan interpersonal,
sehingga kondisi ini diyakini sebagai resiko munculnya depresi.
Depresi memiliki gejala seperti berikut :
- Rasa sedih atau cemas yang terus menerus
- Rasa putus asa dan pesimis
- Rasa bersalah, merasa tidak berharga
- Kehilangan minat atau kesenangan atas hobi atau aktivitas yang sebelumnya disukai
- Energi lemah, kelelahan, menjadi lambat
- Sulit berkonsentrasi, mengingat dan memutuskan
- Sulit tidur (insomnia) atau tidur yang berlebihan (hypersomnia)
- Sulit makan atau terlalu banyak makan (menjadi kurus atau kegemukan)
- Tidak tenang dan gampang tersinggung
- Sakit kepala, masalah pencernaan dan nyeri kronis yang terus menerus
- Berpikir ingin mati atau bunuh diri
Depresi dapat dicegah dengan cara selalu berpikiran
positif, berolahraga dan dan selalu menyibukkan diri dengan hal-hal yang
positif.
Referensi :
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought
and action: A social cognitive theory.
Engewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Bandura, A (1997). Self-efficacy:
The exercise of control. New York: Freeman.
Kesehatan Mental: Hubungan kesehatan mental dengan
kecerdasan emosi
Kecerdasan
Emosi (EI)
Di tahun
1990, dua Psikolog, Peter Salovey dan John Mayer mengeluarkan istilah
kecerdasan emosi atau EI. Hal ini mengacu pada keempat keterampilan yang saling
berhubungan: kemampuan untuk melihat, menggunakan, memahami dan mengelola atau
mengatur emosi—milik kita sendiri atau orang lain—sehingga dapat mencapai
tujuan. Kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk memanfaatkan emosi untuk
menghadapi lingkungan sosial secara lebih efektif. Hal ini membutuhkan
kesadaran mengenai tipe-tipe perilaku yang sesuai dalam suatu kondisi sosial.
untuk
mengukur kecerdasan emosi, psikolog menggunakan tes kecerdasan emosi
Mayer-Salovey-Caruso (MSCEI), tes berdurasi 40 menit untuk menjawab pertanyaan
dari tes tersebut yang menghasilkan skor untuk setiap kemampuan tersebut,
sebagai nilai total.
Kecerdasan
emosi berdampak pada kualitas hubungan personal. Studi menemukan bahwa
mahasiswa yang mendapat nilai tinggi pada MSCEIT melaporkan cenderung lebih
memiliki hubungan yang posisitf dengan orang tua dan teman-temannya, sedangkan
mahasiswa yang memiliki nilai yang rendah pada MSCEIT melaporkan terlibat dalam
penggunaan obat-obatan terlarang dan mengonsumsi alcohol berlebihan, dan
tema-teman dekat mahasiswa yang memiliki nilai tinggi dalam MSCEIT menilai
sebagai orang yang cenderung lebih memberikan dukungan emosional seetiap saat
jika diperlukan. Pasangan mahasiswa yang keduanya memiliki nilai tinggi pada MSCEIT
memiliki hubungan yang membahagiakan, saat pasangan yang nilainya rendah tidak
berbahagia.
Kesehatan
mental
Berdasarkan
orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental memiliki pengertian kemampuan
seseorang untuk dapat menyesuaikan diri sesuai tuntutan kenyataan di
sekitarnya. Tuntutan kenyataan yang dimaksud di sini lebih banyak merujuk pada
tuntutan yang berasal dari masyarakat yang secara konkret mewujud dalam
tuntutan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Orang dewasa
paruh baya lebih mungkin mengalami distress psikologis serius: kesedihan yang
berlebihan, rasa gugup, putus asa, dan rasa tak berharga sepanjang waktu dari
pada orang dewasa yang lebih muda atau yang lebih tua. Individu dewasa dengan
tekanan psikologis yang serius lebih mungkin dibandingkan sebayanya didiagnosis
menderita penyakit jantung, diabetes, artritis atau stroke dan melaporkan perlu
bantuan di kehidupan sehari-hari seperti
mandi dan berpakaian.
Dalam studi nasional yang luas dari perempuan
usia paruh baya, sekitar 1 dari 4 menunjukkan gejala depresi. Sebagaimana studi
sebelumnya, prevalensi tertinggi terjadi diantara perempuan Afro Amerika dan
Hispanik Amerika dan terendah terjadi diantara perempuan china amerka dan
jepang amerika. Perbedaan SSE dan factor berisiko lainnya mungkin menjelaskan
kesenjangan ras/etnis tersebut. perempuan yang kurang berpendidikan dan
memiliki kesulitan memenuhi kebutuhan dasar lebih mungkin memiliki gejala
depresi. begitu juga, mereka yang menyebut kesehatan mereka buruk atau cukup
dan ada yang menyebut mereka berada dibawah tekanan atau kurang mendapatkan
dukungan sosial dan factor-faktor tersebut jauh lebih penting dibandingkan
tanda yang nyata dari SSE.
Kesehatan
mental seseorang sangat berpengaruh dalam kecerdasan emosinya. Pepatah kuno Solomon,
“ Hati yang riang adalh obat yang baik”, menjadi acuan bagi penelitian setiap
saat. Emosi negative seperti kecemasan dan putus asa sering kali dihubungkan
dengan kesehatan fisik dan mental yang buruk, dan emosi positif seperti
harapan, dihubungkan dengan kesehatan yang baik dan kehidupan yang lebih lama.
Karena otak berinteraksi dengan semua system biologis tubuh, perasaan dan
kepercayaan berpengaruh terhadap fungsi tubuh, termasuk fungsi system imun.
Suasana hati negative rupanya menahan fungsi system imun dan meningkatkan
kerentanan pada penyakit, suasana hati yang posisitf tampaknya mempertinggi
fungsi imun.
Referensi :
Feist, G.
J., & Feist, J. (2010). Theories of personality 7th ed. Jakarta: Salemba
Humanika
Papalia, D.
E., & Feldman, R. D. (2014). Experience human development 12th ed. Jakarta:
Salemba Humanika.
No comments:
Post a Comment